Kisah Seorang Petapa Muda dan Seekor Kepiting
by ; tmt.m
Mengasihi Sesuatu dengan Bijaksana
Suatu ketika di sore hari yang sejuk, nampak seorang
anak muda sedang bertadabur dibawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai. Saat
sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian anak muda itu
terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak beraturan.
Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya. Anak muda itu segera melihat ke
arah tepi sungai, sumber suara tadi berasal. Ternyata, disana nampak seekor
kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras. Melihat
hal itu, anak muda merasa kasihan. Ia segera mengulurkan tangannya ke arah
kepiting untuk membantunya.
Melihat tangan terjulur, dengan sigap kepiting menjepit
jari si anak muda. Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting,
tetapi hati anak muda itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting. Kemudian,
dia pun melanjutkan kembali tadaburnya.
Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar
lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai. Ternyata kepiting tadi
mengalami kejadian yang sama. Maka, si anak muda kembali mengulurkan tangannya
dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya. Selesai membantu
untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret arus lagi. Maka, anak muda itu
menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan
capit kepiting.
Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian
datang menghampiri dan menegur si anak muda, “Anak muda, perbuatanmu menolong
adalah cerminan hatimu yang baik. Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting,
engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?” “Paman,
seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda. Dan saya
sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka, saya tidak mempermasalahkan
jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa mahluk lain, walaupun itu
hanya seekor kepiting,” jawab si anak muda dengan kepuasan hati karena telah
melatih sikap belas kasihnya dengan baik.
Allah SWT berfirman
:“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” (QS.Al-Baqarah: 195)
Mendengar jawaban si anak muda, kemudian orang tua itu
memungut sebuah ranting. Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang
terlihat kembali melawan arus sungai. Segera, si kepiting menangkap ranting itu
dengan capitnya. “Lihat, Anak muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih
memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan.
Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong mahluk
lain, tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun
bisa kita manfaatkan, bukan?” Seketika itu, si pemuda tersadar. “Terima kasih,
Paman. Hari ini saya belajar sesuatu. Mengembangkan cinta kasih harus disertai
dengan kebijaksanaan. Di kemudian hari, saya akan selalu ingat kebijaksanaan
yang paman ajarkan.
” Mempunyai sifat belas kasih, mau memperhatikan dan
menolong orang lain adalah perbuatan mulia, entah perhatian itu kita berikan
kepada anak kita, orang tua, sanak saudara, teman, atau kepada siapa pun.
Tetapi, kalau cara kita salah, seringkali perhatian atau bantuan yang kita
berikan bukannya memecahkan masalah, namun justru menjadi
bumerang.
Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya sekadar
berniat membantu, malah harus menanggung beban dan kerugian yang tidak perlu.
Karena itu, adanya niat dan tindakan berbuat baik, seharusnya diberikan dengan
cara yang tepat dan bijak. Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan
berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus membahagiakan dan membawa
kebaikan pula bagi kita yang membantu.
Ingat firman Allah
“Dan tolong-menolong engkau semua atas kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Al-Maidah:
2)
Semoga cerita ini bisa membawa hikmah, manfaat, motivasi
ataupun menginspirasi bagi semua pembaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar