Jumat, 19 Januari 2018

cerita islami

Halal Membawa Berkah, Haram Membawa Musibah

by . tmt.m

Fulanah (46) galau, toko kelontongnya makin sepi barang. Akibatnya pelanggan pun jarang mampir karena kebutuhan yang ingin dibeli tidak tersedia. Ini semua akibat modal Fulanah yang kerap tak cukup untuk membeli barang dagangan. Dananya tergerus untuk menutupi utang pada rentenir dan bank yang berbunga tinggi. Kasus Fulanah banyak dialami masyarakat kita. Bujuk rayu penambahan modal atau kredit menggiurkan—padahal mencekik leher—kadang tak terhindarkan. Pemahaman yang kurang terhadap unsur-unsur keberkahan dalam mencari rezeki, membuat praktik riba seolah menjadi hal yang sepele untuk dihindari. Apalagi jika abai terhadap kewajiban zakat, infak, dan sedekah yang harusnya selalu menghiasi perputaran rezeki yang didapat. Allah akhirnya punya banyak cara untuk mengambil hak fakir miskin dari harta tersebut dan mengurangi keberkahannya.
Cari Berkahnya, Bukan Jumlahnya
Keberkahan sebetulnya bisa dirasakan dalam banyak hal dalam hidup kita. Dalam hal rezeki, kesehatan, rumah tangga, pekerjaan, bahkan pertemanan. Jika ada keberkahan, akan banyak ketenangan dan manfaat yang terasa. Bukan saja dirasakan oleh kita, namun juga oleh orang-orang di sekitar kita. Sebaliknya, sesuatu yang tidak berkah, walau banyak dan serba ada, terasa tidak memuaskan atau malah tidak terasa manfaatnya. Dalam tataran yang lain, ketidakberkahan akan berakibat pada segala hal yang menyusahkan, sempit, cepat musnah, dan selalu kurang.
Dalam kamus bahasa Arab, berkah diartikan sebagai suatu pertumbuhan, pertambahan, kebaikan. Sedangkan dalam konteks Al-Qur’an dan Hadits, berkah bermakna manfaat atau inti dari kebaikan sesuatu. Maka tak heran, keberkahan sesungguhnya adalah segala sesuatu yang dicari oleh setiap orang, karena fitrah manusia mendamba kebaikan yang selalu ada dalam keberkahan. Gudang kebaikan ada dalam keberkahan, dan ia tidak terikat pada penampilan, jumlah, kedudukan, dan ukuran kebendaan lainnya. Yang sedikit, sederhana, jika disyukuri dan bermanfaat, itulah berkah dan menjadi sumber kebahagiaan.
Halal dan Berkah Bagai Saudara Kandung
Menurut Ustadz Amang Syafrudin, Lc, M.Psi, pembina dan pengajar di jurusan syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qudwah, Depok, halal dan berkah adalah sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Halal merupakan bagian dari kepatuhan kepada Allah, sedang keberkahan sangat terkait dengan kehalalan itu sendiri. Yaitu, mengupayakan sesuatu harus halal dan menggunakannya semata untuk kebaikan di jalan Allah.
Inilah yang membedakan mengapa yang “bagus dan banyak” menurut hawa nafsu tidak selalu membawa keberkahan, karena ia belum tentu dari yang halal dan tidak selalu digunakan di jalan Allah. Karenanya, halal ibarat saudara kandungnya berkah. Di mana ada usaha halal, di situlah berkah mudah datang.
Halal sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dibenarkan agama, dan lawannya adalah haram atau dilarang. Semua ini adalah hak prerogatif Allah dalam menentukannya. “Katakanlah: Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS Yunus [10]: 59).
Kita sebagai Muslim harus meyakini bahwa perintah menjaga yang halal dan menjauhi yang haram adalah memiliki kebaikan seratus persen untuk kita, dan ini termasuk dalam memaknai ketaatan. Jangan coba-coba mendekati yang haram karena tak hanya keberkahan yang hilang, berbagai kesulitan pun akan mengiringi sampai ke akhirat.
Terkait dengan makanan, prinsip berkah ditambah dengan aturan thayyib (baik). Makanan tersebut bukan hanya zat dan prosesnya saja yang halal, tapi kandungannya juga harus aman dan baik untuk tubuh kita.
Rahasia Menggapai Berkah
Manusia tak lepas dari khilaf dan alpa, sehingga dalam berikhtiar atau menggunakan sesuatu, tersimpan perilaku yang membuat keberkahan menjauh. Kasus Fulanah di atas harus menjadi refleksi buat kita. Karenanya, kita harus selalu memantaskan diri untuk menjadi hamba Allah yang layak mendapat keberkahan.
Bagaimana caranya? Menurut Amang, sebetulnya cara untuk mendapatkan keberkahan tidak sulit, yaitu dengan sedapat mungkin meningkatkan wawasan, pengetahuan, kesadaran, dan ketakwaan. “Takwa itu sederhana, jalankan perintah-Nya dan jauhi larangan-Nya!” tegasnya. Bukankah Allah berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, (QS Al-A’raf [7]: 96).
Mari senantiasa memohon ampun pada Allah akan segala kekhilafan diri, serta mohonkan agar kehidupan kita selalu didekatkan dengan keberkahan melalui hidayah-Nya yang tak pernah putus. Karena dengan hidayah Allah, hati yang keras akan melunak, pikiran yang buntu menjadi tercerahkan, perbuatan yang buruk akan dicondongkan pada kebaikan.
Tanda-tanda Dihinggapi Berkah
1. Selalu mensyukuri apa yang ada dan tidak mudah tergiur dengan milik orang lain.
  1. Diri, keluarga, dan harta, tak hanya dirasakan sendiri manfaatnya, tapi juga bermanfaat bagi orang lain.
  2. Walau harta tak banyak, rasanya cukup memenuhi kebutuhan. Jika kurang, ada saja jalan keluar untuk memenuhinya.
  3. Jiwa tenang dan semakin dekat pada Allah.
  4. Ringan dalam mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah. Tidak pernah merasa khawatir hartanya akan berkurang.
  5. Bertambahnya jumlah, bertambah pula kebaikan yang ada padanya 










cerita islami

Malas Shubuh di Masjid? Anda Akan Malu Baca Kisah Ini




BY : TMT.M




Idealnya laki-laki muslim memang harus berjamaah di masjid, tanpa terkecuali untuk sholat Subuh. Apakah Anda masih susah untuk bangun Shubuh meski sudah dengan jeritan alarm? Sepertinya Anda perlu berkaca pada kisah berikut yang cukup menampar hati.
Ada seorang laki-laki yang selalu hadir tepat waktu di Masjid Nabawi ketika waktu shubuh, bahkan ia selalu berhasil “memesan” tempat di barisan paling depan sebelah kanan. Hingga semua orang tahu bahwa itu adalah tempatnya Sya’ban. Ya, laki-laki yang rajin ke Masjid Nabawi itu bernama Sya’ban.
Pada suatu Shubuh, Baginda Rasulullah SAW tidak menemukan Sya’ban di tempat biasanya. Singkat cerita, Rasulullah diantar oleh para sahabat menuju rumah Sya’ban. Dan fakta menarik apa yang ditemukan Rasulullah SAW?Pertama, rumah Sya’ban dengan Masjid Nabawi berjarak 3 jam perjalanan.
Sya’ban menempuh ke Masjid Nabawi bukan dengan motor apalagi dengan mobil, juga bukan dengan unta dan binatang tunggangan lain. Akan tetapi ia ke masjid dengan jalan kaki di padang pasir!
Anda yang pernah mengalami sendiri, berjalan di atas pasir itu dua kali lipat lebih melelahkan dari pada di tanah biasa. Artinya untuk bisa tepat waktu shubuh berjamaah, minimal Sya’ban harus berangkat dari rumah jam 1 dini hari!
Fakta selanjutnya, mengapa Sya’ban tidak Shubuh berjamaah?Ia tidak sedang sakit atau kelelahan. Ia juga tidak bangun kesiangan akibar begadang semalaman. Akan tetapi ia meninggal dunia. Ya, Sya’ban tidak shalat Shubuh berjamaah hanya karena satu alasan: telah meninggal dunia!Kemudian, istri Sya’ban memberi tahu Rasulullah SAW, ketika suaminya meninggal, ada pesan yang belum ia pahami.
Sya’ban mengatakan, “Mengapa tidak lebih jauh? Mengapa bukan yang lebih baru? Mengapa tidak semuanya?
Rupanya, ketika sakaratul maut, Allah memperlihatkan pahala-pahala kebaikan Sya’ban. Sya’ban “menyesal”, mengapa jarak rumahnya dengan Masjid Nabawi hanya segitu.Ia juga menyesal, suatu ketika ia mendapati orang yang kedinginan di Masjid Nabawi, ia memberikan baju yang lama sedangkan ia memakai dobel baju, yang satu baru dan yang satu lama.
Dan suatu ketika, Sya’ban bertemu dengan seorang yang kelaparan tetapi ia hanya membagi sebagian rotinya sedang yang sebagiannya lagi ia makan.
Ingat : Seorang yang berjalan ke masjid, maka tiap langkah kakinya akan diberikan satu pahala, dihapuskan satu dosa, dan dinaikkan satu derajat oleh Allah SWT. (Ibnu Majah:277,Muslim:1068 dan 1065).
“Kamu tidak akan sampai pada kesempurnaan sampai kamu menginfakkan harta yang kamu cintai.” (QS. Al-Imran : 92)
Hingga sampai di sini, masih malas kah kita bangun Shubuh untuk jamaah ke masjid?